Tuesday, March 21, 2017

Analisis Kepentingan dan Kinerja

Metode Analisis Kepentingan dan Kinerja atau lebih dikenal dengan sebutan Importance Performance Analysis (IPA) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 oleh Martilla dan James dalam artikel mereka yang berjudul ”Importance-Performance Analysis”. Metode IPA tidak membutuhkan banyak biaya dan sangat mudah untuk dipahami dalam mengatur informasi tentang atribut suatu produk atau jasa, serta memberikan strategi intuitif yang menarik untuk sebuah usaha dalam menetapkan prioritas perubahan yang potensial. 

Metode IPA mengacu pada proses penentuan satu set atribut yang menjadi ciri khas produk atau jasa, mengevaluasi kepentingan dan kinerja produksi daripada atribut tersebut, serta mewakili skala kepentingan dan kinerja pada setiap atribut pada dua sumbu kisi (grid) sebagai perbandingan. Dimana penandaan pada kuadran dari setiap kisi akan menunjukkan langkah-langkah strategis yang harus diambil sehubungan dengan setiap atribut tersebut. [Timothy J. Tyrrell and Mark J. Okrant, 2004; Importance-Performance Analysis]. 

Analisis Kepentingan dan Kinerja atau  IPA  merupakan suatu  metode multi atribut, dimana metode ini akan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dengan menggunakan dua kriteria, yaitu kepentingan relatif atribut dan  kinerja atau kepuasan suatu obyek. Penerapan metode IPA dimulai dengan melakukan identifikasi atribut-atribut atau indikator-indikator yang relevan terhadap situasi pilihan yang diamati. Dimana daftar dari atribut-atribut atau indikator indikator dapat dikembangkan dengan mengacu pada referensi-referensi atau literatur-literatur, melalui Interview, Focus Group Discusion dan Criteria for Forming a Panel of Experts.  

Metode IPA tidak hanya digunakan untuk menguji kinerja item, tetapi pentingnya item sebagai faktor penentu dalam kepuasan atau penilaian. Di pihak lain, IPA merupakan alat untuk melakukan evaluasi yang kuat dalam menentukan atribut yang baik dan atribut yang perlu diperbaiki.  Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan kinerja akan diperoleh tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dengan kinerja [Festus Evly R.I. Liow, Achmad Wicaksono,  Zetly E. Tamod, Soemarno, 2013; Importance and Performance Analysis of the Solid Waste Management System in Tomohon City, Indonesia].

Analisis data berdasarkan tabulasi, dimana atribut yang diurutkan yang sangat diinginkan atau tidak diinginkan pada tingkat kepentingan dalam sebuah sistem. Selanjutnya, kinerja daripada atribut yang kinerjanya telah baik dan bila perlu dapat ditingkatkan kinerjanya berdasarkan persepsi responden. Dimana tingkat kesesuaian merupakan hasil dari nilai perbandingan antara kinerja dengan kepentingan, sehingga dapat ditentukan indikator-indikator yang mempengaruhi. 

Dalam metode ini terdapat dua variabel, yaitu variavel (X) dan variabel (Y), dimana vriabel (X) adalah tingkat kepuasan/kinerja dan variabel (Y) adalah tingkat kepentingan. rumus tingkat kesesuaian yang digunakan adalah:
Sumbu horisontal (X) akan diisi dengan skor/nilai tingkat pelaksanaan/kinerja (Performance), sedangkan sumbu vertikal (Y) akan diisi dengan skor/nilai Kepentingan (Importance), maka setiap atribut/indikator yang mempengaruhi akan diformulasikan dengan rumus, sebagai berikut:
Setelah skor/nilai rata-rata dapat diketahui dan dapat diartikan sebagai koordinat (X;Y) yang akan diterapkan pada Diagram Kartesius (Cartesian Diagram), dimana diagram tersebut merupakan sebuah bangunan yang terbagi menjadi empat bagian yang dibatasi oleh dua garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik koordinat (X;Y), seperti terlihat pada gambar dibawah ini:

Diagran Kertesius 
Distribusi Kuadran Analisis Kepentingan & Kinerja
Sumber: Festus Evly R.I. Liow, Achmad Wicaksono,  Zetly E. Tamod, Soemarno, 2013; Importance and Performance Analysis of the Solid Waste Management System in Tomohon City, Indonesia
Kuadran pertama:
Prioritas Utama (konsentrasi pada kuadran ini), dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap sangat penting, namun belum memuaskan untuk kondisi saat ini, sehingga harus menjadi perhatian khusus bagi pihak-pihak terkait yang berkepentingan;

Kuadran kedua:
Pertahankan Prestasi, dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap sebagai faktor yang seharusnya dilakukan dan disadari, baik dari segi kepentingan maupun dalam pelaksanaan;

Kuadran ketiga:
Prioritas Rendah, dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap memiliki kepuasan yang rendah dan kurang penting;

Kuadran keempat:
Berlebihan, dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap kurang penting dan pelaksnaannya pun diabaikan. Selanjutnya, agar penerapan metode IPA berjalan secara sistematis, maka harus mengikuti tahapan dan prosedur yang terdiri dari lima tahap, antara lain sebagai berikut:
  1. Tahap Pertama: Menentukan indikator-indikator yang akan di analisis;
  2. Tahap Kedua: Melakukan survei/observasi melalui penyebaran kuesioner;
  3. Tahap Ketiga: Menghitung nilai rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja/kepuasan;
  4. Tahap Keempat: Membuat Grafik IPA (Diagram Kartesius);
  5. Tahap Kelima: Melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator sesuai dengan kuadran setiap indikator.
Metode IPA telah digunakan dalam berbagai aplikasi kerena relatif mudah dalam administrasi dan interpretasinya yang banyak digunakan oleh peneliti dan manager di berbagai bidang. Pada penerapan metode IPA terdapat dua macam cara untuk menampilkan data IPA yang telah dianalisis pada diagram Karteius (Cartesian Diagram), yaitu:
  1. Menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penanganan dengan tujuan untuk mengetahui penyebaran secara umum pada kuadran;
  2. Menempatkan garis pemotongan kuadran pada nilai rata-rata hasil pengamatan pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penanganan dengan tujuan untuk mengetahui secara spesifik setiap item dalam kuadran. Perlu diketahui bahwa metode ini lebih banyak digunakan oleh para peneliti.

Penegertian Indikator Kinerja

Perkembangan pembangunan ekonomi dan infratruktur di Indonesia dari tahu ke tahun semakin meningkat seiring dengan tuntutan pelayanan kepada masyarakat yang semakin tinggi. Sebagai pemilik atau pemberi pelayanan kepada masyarakat dituntut untuk lebih mendahulukan aspek hasil dibandingkan dengan pengelolaan maupun operasional termasuk pengendalian. Penekanan terhadap hasil merupakan kritik dan perbaikan terhadap konsep lama yang kurang relevan untuk diterapkan kepada masyarakat/pelanggan/pengguna yang menuntut perbaikan kinerja [Drs. Mahmun Syarif Nasution, M.AP (Widyaiswara Madya), Teknik Menyusun Indikator Kinerja Utama Organisasi].

Indikator kinerja digunakan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja suatu kegiatan yang sedang berjalan untuk mengetahui sejauhmana hasil kerja dan pelayanan dapat berjalan sesuai dengan harapan, baik secara kuantitatf maupun kualitatif. Hasil pengukuran suatu kegiatan akan menjadi rekomendari dalam pengambilan keputusan dalam rangka perbaikan dimasa yang akan datang pada setiap tingkatan. Hasil evaluasi kinerja akan menunjukkan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan atau kebijakan yang telah ditetapkan. [Mohamad Mahsun, 2011; Pengukuran Kinerja Sektor Publik] dan [Seti (Roni Dwi Susanto) Pemantauan dan Evaluasi Kinerja]. Sedangkan indikator kinerja memiliki manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan suatu kegiatananatra lain sebagai berikut:
  1. Memperjelas tentang informasi suatu kegiatan/program;
  2. Menciptakan kesepakatan untuk menghindari kesalahan interpretasi dan perbedaan pendapat selama pelaksanaan kegiatan/program;
  3. Membangun dasar bagi pemantauan dan evaluasi; 
  4. Untuk mengenalkan dan memotivasi pelaksana kegiatan/program dalam pencapaian hasil.
  5. Untuk merekomendasikan dan melaporkan hasil yang telah dicapai kepada pemilik, pengelola, dan pengguna.
Indikator Kinerja merupakan alat utama sistem pemantauan dan evaluasi suatu kegiatan yang sedang berjalan, sejauh mana tingkat pencapaian atau prestasi dari sasaran maupun tujuan yang akan dicapai. Setiap indikator kinerja termasuk sub-indikatornya harus didefinisikan secara jelas dan lengkap sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan dan perbaikan selanjutnya. [Mohamad Mahsun, 2011; Pengukuran Kinerja Sektor Publik]. Dimana indikator memiliki karakteristik yang harus diperhatikan ketika akan menentukan indikator maupun sub-indikator yang akan digunakan, antara lain sebagai berikut:
  1. Sahih (Valid), artinya indikator benar-benar dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang akan dinilai;
  2. Dapat dipercaya (Reliable), artinya mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat yang berulang kali, untuk waktu sekarang maupun yang akan datang;
  3. Peka (Sensitive), cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak perlu banyak;
  4. Spesifik (Specific) memberikan gambaran prubahan ukuran yang jelas dan tidak tumpang tindih;
  5. Relevan (Rerevance), artinya sesuai dengan aspek kegiatan yang akan diukur dan kritikal.
Selanjutnya sistem klasifikasi indikator didasarkan atas kerangka kerja yang logis dimana kontinuum masukan (input) yang pada akhirnya mengarah pada keluaran (outcomes) [WHO, 2013]. Klasifikasi tersebut secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Indikator input merujuk pada sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas, seperti: personel, alat/fasilitas, informasi, dana, peraturan/kebijakan;
  2. Indikator proses adalah memonitor tugas atau kegiatan yang dilaksanakan;
  3. Indikator output adalah untuk mengukur hasil meliputi cakupan, termasuk pengetahuan, sikap, dan perubahan perilaku yang dihasilkan oleh tindakan yang dilakukan. Indikator ini juga disebut indicator effect.
  4. Indikator outcome, adalah untuk menilai perubahan atau dampak (impact) suatu program, perkembangan jangka panjang.
Indikator kinerja sangat penting untuk digunakan dalam melakukan evaluasi suatu kegiatan/program, sehingga dapat diketahui bahwa suatu kegiatan/program telah berjalan secara efektif dan efisien. Indikator kinerja untuk setiap unit kegiatan/program tidak sama tergantung pada jenis pelayanan yang dihasilkan. Maka dalam pengembangan dan penentuan indikator kinerja perlu mempertimbangkan beberapa komponen [Mohamad Mahsun, 2011; Pengukuran Kinerja Sektor Publik], sebagai berikut:
  1. Biaya pelayanan (cost of service), Indikator biaya biasanya diukur dalam bentuk biaya unit (unit cost), misalnya biaya per unit pelayanan;
  2. Penggunaan (utilization), Indikator penggunaan pada dasarnya membandingkan antara jumlah pelayanan yang ditawarkan (supply of service) dengan permintaan publik (public demand). Indikator ini harus mempertimbangkan preferensi public;
  3. Kualitas dan Standar (quality and standards), Indikator kualitas dan standar pelayanan merupakan indicator yang paling sulit diukur, karena menyangkut pertimbangan yang sifatnya subyektif;
  4. Cakupan (coverage), Indikator cakupan pelayanan perlu dipertimbangkan apabila terdapat kebijakan atau peraturan perundangan yang mensyaratkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan minimal yang telah ditetapkan;
  5. Kepuasan (satisfaction), Indikator kepuasan biasanya diukur melalui metode jajak pendapat secara langsung. 
Sedangkan syarat-syarat indikator yang ideal yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan jenis kegiatan/program yang telah ditetapkan. Menurut Palmer (1995) yang dikutip dari buku Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Mohamad Mahsun, (2011) menyatakan bahwa syarat-syarat indikator yang ideal, adalah sebagai berikut:
  1. Consitency, indicator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi;
  2. Comparibility, indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak;
  3. Clarity, indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami;
  4. Controllability, pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikannya;
  5. Contingency, perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal. Struktur organisasi, gaya manajemen, ketidakpastian dan kompleksitas lingkungan eksternal harus dipertimbangkan dalam perumusan indikator kinerja;
  6. Comprehensiveness, indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek perilaku yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manajerial;
  7. Boundedness, indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi;
  8. Relevan, berbagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu;
  9. Feasibility, target-target yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator kinerja harus merupakan harapan yang realistik dan dapat dicapai.

Indikator-Indikator Penilaian Kinerja Bangunan

Penilaian kinerja bangunan agar dapat dinyatakan hijau atau ramah lingkungan harus memeuhi indikator-indikator yang dapat mempengaruhi kinerja sebuah bangunan maupun kepentingan atau persepsi dari pemilik bangunan, maupun pengguna bangunan. Berdasarkan hasil survei di beberapa bangunan tersebut yang merujuk kepada Green Building Council Indonesia, diketahui memiliki 6 (enam) variabel dan 62 sub-variabel sebagai indikator-indikator yang mempengaruhi terhadap kinerja sebuah bangunan. Deskripsi variabel penilaian tersebut secara rinci dijelaskan, adalah sebagai berikut:

Tepat guna lahan:
Tepat guna lahan memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari: 
  • Aksesibiltas Pengguna; 
  • Pengurangan Penggunaan Kendaraan Bermotor; 
  • Penggunaan Fasilitas Sepeda; 
  • Tata Guna Lahan berupa vegetasi; 
  • Penggunaan Penutup Atap Ramah Lingkungan; 
  • Pengurangan Volume Limpasan Air Hujan ke Jaringan; 
  • Pengendalian Hama Penyakit dan Gulma Tanaman; 
  • Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Sekitar Gedung; 
  • Pemeliharaan Eksterior Gedung; 
  • Gedung Bersertifikat Greenship. 
Efesiensi dan konservasi energi:
Efesiensi dan konservasi energi memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Penurunan Penggunaan Listrik;
  • Peningkatan Kinerja & Kontrol Sistem MVAC;
  • Usaha Penghematan Penggunaan Listrik;
  • Sistem Pengendalian & Pemantauan Energi;
  • Sistem Operasional & Pemeliharaan Gedung;
  • Penggunaan Energi Terbarukan;
  • Pengurangan Emisi CO₂;
  • Kampanye Penghematan Energi;
  • Penggunaan Energi Minimum;
  • Zona Pencahayaan.
Konservasi air:
Konservasi air memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Alat Ukur Konsumsi Air;
  • Prosedur Operasional dan Pemeliharaan Air;
  • Pengurangan Konsumsi Air;
  • Kualitas Air;
  • Sistem Daur Ulang Air;
  • Sistem Penyarigan Air;
  • Konsumsi Air Sumur Dalam;
  • Penggunaan Keran/Pompa Air Otomatis;
  • Kampanye Konservasi Air;
  • Penggunaan Air Hujan.
Sumber dan siklus material:
Sumber dan siklus material memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Penggunaan Refrigeran Non-CFC;
  • Penggunaan Material Ramah Lingkungan;
  • Sistem Pengelolaan Sampah;
  • Sistem Pengelolaan Limbah Berbahaya;
  • Penyaluran Barang Bekas Daur Ulang;
  • Penggunaan Kayu Bersetifikat;
  • Bahan Pembersih yang Ramah Lingkungan;
  • Penggunaan Asbestos;
  • Penggunaan Logam;
  • Kebijakan Pembelian Material.
Kesehatan dan kenyamanan dalan ruangan:
Kesehatan dan kenyamanan dalan ruangan memiliki 12 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Kualitas Udara Ruangan;
  • Dilarang Merokok di Seluruh Area Gedung;
  • Pemantauan Kadar CO₂;
  • Pengukuran Polutan Kimia;
  • Pembersihan Filter, Coil dan Alat Bantu VAC;
  • Kenyamanan Visual/Tinglat Pencahayaan;
  • Tingkat Bunyi Dalam Ruangan/Kebisingan;
  • Kenyamanan Suhu Udara;
  • Tanaman dalam Ruang;
  • Pengendalian Hama;
  • Kampanye Pembuangan Sampah;
  • Kampanye Bebas Asap Rokok.
Pengelolaan lingkungan dalam bangunan:
Pengelolaan lingkungan dalam bangunan memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Aplikasi Inovasi dengan Peningkatan Kualitas Bangunan;
  • Mendorong Perubahan Perilaku Para Pengguna;
  • As Built Drawing dan Dokumen Lainnya;
  • Struktur Organisasi Operation & Maintanance Berkelanjutan;
  • Pelatihan Konsep Hijau & Klausul Bangunan Hijau;
  • Jadwal Berkala Operation & Maintanance;
  • Jadwal Berkala Pelatihan & Evaluasi;
  • Aktifitas Hijau;
  • Rencana Anggaran & Biaya Operasional & Pemeliharaan;
  • Rencana Kegiatan Operasional & Pemeliharaan.

Konservasi Energi

Hingga saat ini, Indonesia masih menghadapi persoalan dalam pncapaian target pembangunan bidang energi. Ketergantungan terhadap energi fosil terutama minyak buni dalam pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih dinilai tinggi, yaitu sebesar 96% terdiri dari 48% minyak bumi, gas 18% dan batubara 30% dari total konsumsi dan upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan belum berjalan sesuai dengan harapan. Penurunan cadangan energi fosil berjalan terus dan tidak diimbangi dengan penemuan cadangan baru, termasuk keterbatasan infrastruktur energi yang tersedia. Memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka Indonesia dalam posisi rentan terhadap gangguan yang terjadi di pasar energi global terutama pada produk minyak bumi yang dipenuhi dari impor. [Dewan Energi Nasional, 2014]

Konservasi energi dalam kata lain memiliki pengertian tentang perlindungan dan pelestarian energi sebagai dasar dalam pengelolaan energi nasional belum sepenuhnya mendapat perhatian serius khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena masih mengutamakan pada penyediaan energi untuk masyarakat melalui eksploitasi bahan bakar fosil dan pembangunan energi listrik. Konservasi energi dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas, seperti biaya konsumsi energi dan lingkungan. Konsevasi energi di Indonesia selama ini tidak berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat bahwa Indonesia merupakan sebuah Negara yang memiliki sumberdaya energi yang sangat melimpah. Peraturan pemerintah maupun undang-undang tentang konservasi energi belum dikembangkan termasuk pembentukan badan khusus atau komisi khusus yang menaganinya belum terbentuk. Kerugian yang harus ditanggung apabila tidak dilakukan konservasi energi secara nyata belum dapat dihitung secera pasti, namun telah dirakan akibatnya. [Hanan Nugroho, 2005; Konservasi Energi Sebagai Keharusan Yang Terlupakan Dalam Manajemen Energi Nasional Indonesia]

Energi merupakan sebuah tenaga atau kemampuan dalam melakukan berbagai proses kegiatan, dimana bentuk energi pada umumnya berupa bahan bakar, listrik, energy menkanis dan panas. Agar penggunaan energi lebih efektif dan efisien, diperlukan sistem pengelolaan energy yang terencana, terarah dan berkesinambungan. Dalam pengelolaan energi tersebut dapat dilakukan konveservasi energi, dimana konservasi  energi merupakan suatu kegiatan dalam rangka pengeloaan energi yang efektif, efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energy yang diperlukan. Selanjutnya selalu megupayakan dan mencari alternative-alternatif teknologi baru dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tidak habis, seperti energy matahari, angin, dan air. [Prof. Dr. Ir. Bambang Suryawan, MT., 2009; Pengantar Konservasi Energi]

Berdasarkan pada Outlook Energi Indonesia tahun 2014 yang disusun oleh Dewan Energi Nasional, bahwa pengelolaan energi di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan terlihat dari tantangan yang harus dihadapi sektor energi, yaitu adanya perubahan paradigma pembangunan energi nasional dengan mengurangi dan menghentikan ekspor energy fosil merupakan keharusan yang tidak dapat dipungkiri; harga yang terjangkau oleh masyarakat dan mengurangi subsidi; pemanfaatan energy baru terbarukan belum optimal; kondisi infrastruktur yang belum optimal. Dimana, 95% kebutuhan energi yang berasal dari energi fosil masih mendominasi dari total kebutuhan energi. [Dewan Energi Nasional, 2014]

Kebijakan Energi Nasional menuju tahun 2050 yang telah disusun oleh Dewan Energi Nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang merupakan penjabaran dar Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, dalam rangka menuju kemandirian dan ketahanan energi nasional yang berdaulat. Kebijakan Energi Nasional disusun berdasarkan asas pemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kepentingan nasional. Kebijakan yang disusun untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi didahului dengan membuat proyeksi kebutuhan energi nasional sampai dengan tahun 2050. Proyeksi tersebut dibuat untuk mengantisipasi kebutuhan energi Indonesia yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang, baik yang berasal dari energi fosil maupun sumber energi terbarukan lainnya. Kebijakan Energi Nasional meliliki tujuan utama dalam pengelolaan energi, adalah sebagai berikut:

  1. Tercapainya kemandirian pengelolaan energi;
  2. Terjaminnya ketersediaan energy dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri;
  3. Tersedianya sumber energy dari dalam negeri dan/atau luar negeri untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, kebutuhan bahan baku kndustri dalam negeri, dan peningkatan devisa Negara;
  4. Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal. Terpadu dan berkesinambungan;
  5. Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor;
  6. Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energy kepada masyarakat tidak mampu, membangun infrastruktur energy untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah;
  7. Tercapainya pengembangan kemampuan industry energy dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;
  8. Terciptanya lapangan kerja dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Berikut ini adalah potensi penghematan energi yang telah diproyeksikan hingga tahun 2050, seperti terlihat pada tabel, dibawah ini:

Sumber:  Outlook Energi Indonesia 2014 – Kementrian ESDM diolah oleh Dewan Energi Nasional, 2013

Tahapan Kebijakan Konservasi Energi menurut Prof. Dr. Ir. Bambang Suryawan MT, dalam presentasinya tentang Pengantar Konservasi Energi menyatakan terdapat empat tahapan utama dalam melakukan Kebijakan Konservasi Energi, yaitu: 1] Tahap Informasi; 2] Tahap Insentif/Disinsentif; 3] Tahap Kebijakan/Regulasi; Tahap Harga Energi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Prof. Dr. Ir. Bambang Suryawan, MT., Pengantar Konservasi Energi, Universitas Indonesia, 2009