Tuesday, March 21, 2017

Analisis Kepentingan dan Kinerja

Metode Analisis Kepentingan dan Kinerja atau lebih dikenal dengan sebutan Importance Performance Analysis (IPA) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 oleh Martilla dan James dalam artikel mereka yang berjudul ”Importance-Performance Analysis”. Metode IPA tidak membutuhkan banyak biaya dan sangat mudah untuk dipahami dalam mengatur informasi tentang atribut suatu produk atau jasa, serta memberikan strategi intuitif yang menarik untuk sebuah usaha dalam menetapkan prioritas perubahan yang potensial. 

Metode IPA mengacu pada proses penentuan satu set atribut yang menjadi ciri khas produk atau jasa, mengevaluasi kepentingan dan kinerja produksi daripada atribut tersebut, serta mewakili skala kepentingan dan kinerja pada setiap atribut pada dua sumbu kisi (grid) sebagai perbandingan. Dimana penandaan pada kuadran dari setiap kisi akan menunjukkan langkah-langkah strategis yang harus diambil sehubungan dengan setiap atribut tersebut. [Timothy J. Tyrrell and Mark J. Okrant, 2004; Importance-Performance Analysis]. 

Analisis Kepentingan dan Kinerja atau  IPA  merupakan suatu  metode multi atribut, dimana metode ini akan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dengan menggunakan dua kriteria, yaitu kepentingan relatif atribut dan  kinerja atau kepuasan suatu obyek. Penerapan metode IPA dimulai dengan melakukan identifikasi atribut-atribut atau indikator-indikator yang relevan terhadap situasi pilihan yang diamati. Dimana daftar dari atribut-atribut atau indikator indikator dapat dikembangkan dengan mengacu pada referensi-referensi atau literatur-literatur, melalui Interview, Focus Group Discusion dan Criteria for Forming a Panel of Experts.  

Metode IPA tidak hanya digunakan untuk menguji kinerja item, tetapi pentingnya item sebagai faktor penentu dalam kepuasan atau penilaian. Di pihak lain, IPA merupakan alat untuk melakukan evaluasi yang kuat dalam menentukan atribut yang baik dan atribut yang perlu diperbaiki.  Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan kinerja akan diperoleh tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dengan kinerja [Festus Evly R.I. Liow, Achmad Wicaksono,  Zetly E. Tamod, Soemarno, 2013; Importance and Performance Analysis of the Solid Waste Management System in Tomohon City, Indonesia].

Analisis data berdasarkan tabulasi, dimana atribut yang diurutkan yang sangat diinginkan atau tidak diinginkan pada tingkat kepentingan dalam sebuah sistem. Selanjutnya, kinerja daripada atribut yang kinerjanya telah baik dan bila perlu dapat ditingkatkan kinerjanya berdasarkan persepsi responden. Dimana tingkat kesesuaian merupakan hasil dari nilai perbandingan antara kinerja dengan kepentingan, sehingga dapat ditentukan indikator-indikator yang mempengaruhi. 

Dalam metode ini terdapat dua variabel, yaitu variavel (X) dan variabel (Y), dimana vriabel (X) adalah tingkat kepuasan/kinerja dan variabel (Y) adalah tingkat kepentingan. rumus tingkat kesesuaian yang digunakan adalah:
Sumbu horisontal (X) akan diisi dengan skor/nilai tingkat pelaksanaan/kinerja (Performance), sedangkan sumbu vertikal (Y) akan diisi dengan skor/nilai Kepentingan (Importance), maka setiap atribut/indikator yang mempengaruhi akan diformulasikan dengan rumus, sebagai berikut:
Setelah skor/nilai rata-rata dapat diketahui dan dapat diartikan sebagai koordinat (X;Y) yang akan diterapkan pada Diagram Kartesius (Cartesian Diagram), dimana diagram tersebut merupakan sebuah bangunan yang terbagi menjadi empat bagian yang dibatasi oleh dua garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik koordinat (X;Y), seperti terlihat pada gambar dibawah ini:

Diagran Kertesius 
Distribusi Kuadran Analisis Kepentingan & Kinerja
Sumber: Festus Evly R.I. Liow, Achmad Wicaksono,  Zetly E. Tamod, Soemarno, 2013; Importance and Performance Analysis of the Solid Waste Management System in Tomohon City, Indonesia
Kuadran pertama:
Prioritas Utama (konsentrasi pada kuadran ini), dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap sangat penting, namun belum memuaskan untuk kondisi saat ini, sehingga harus menjadi perhatian khusus bagi pihak-pihak terkait yang berkepentingan;

Kuadran kedua:
Pertahankan Prestasi, dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap sebagai faktor yang seharusnya dilakukan dan disadari, baik dari segi kepentingan maupun dalam pelaksanaan;

Kuadran ketiga:
Prioritas Rendah, dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap memiliki kepuasan yang rendah dan kurang penting;

Kuadran keempat:
Berlebihan, dimana item (faktor/variabel/parameter/indikator) yang berada pada posisi kuadran ini seperti yang dirasakan oleh responden dianggap kurang penting dan pelaksnaannya pun diabaikan. Selanjutnya, agar penerapan metode IPA berjalan secara sistematis, maka harus mengikuti tahapan dan prosedur yang terdiri dari lima tahap, antara lain sebagai berikut:
  1. Tahap Pertama: Menentukan indikator-indikator yang akan di analisis;
  2. Tahap Kedua: Melakukan survei/observasi melalui penyebaran kuesioner;
  3. Tahap Ketiga: Menghitung nilai rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja/kepuasan;
  4. Tahap Keempat: Membuat Grafik IPA (Diagram Kartesius);
  5. Tahap Kelima: Melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator sesuai dengan kuadran setiap indikator.
Metode IPA telah digunakan dalam berbagai aplikasi kerena relatif mudah dalam administrasi dan interpretasinya yang banyak digunakan oleh peneliti dan manager di berbagai bidang. Pada penerapan metode IPA terdapat dua macam cara untuk menampilkan data IPA yang telah dianalisis pada diagram Karteius (Cartesian Diagram), yaitu:
  1. Menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penanganan dengan tujuan untuk mengetahui penyebaran secara umum pada kuadran;
  2. Menempatkan garis pemotongan kuadran pada nilai rata-rata hasil pengamatan pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penanganan dengan tujuan untuk mengetahui secara spesifik setiap item dalam kuadran. Perlu diketahui bahwa metode ini lebih banyak digunakan oleh para peneliti.

Penegertian Indikator Kinerja

Perkembangan pembangunan ekonomi dan infratruktur di Indonesia dari tahu ke tahun semakin meningkat seiring dengan tuntutan pelayanan kepada masyarakat yang semakin tinggi. Sebagai pemilik atau pemberi pelayanan kepada masyarakat dituntut untuk lebih mendahulukan aspek hasil dibandingkan dengan pengelolaan maupun operasional termasuk pengendalian. Penekanan terhadap hasil merupakan kritik dan perbaikan terhadap konsep lama yang kurang relevan untuk diterapkan kepada masyarakat/pelanggan/pengguna yang menuntut perbaikan kinerja [Drs. Mahmun Syarif Nasution, M.AP (Widyaiswara Madya), Teknik Menyusun Indikator Kinerja Utama Organisasi].

Indikator kinerja digunakan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja suatu kegiatan yang sedang berjalan untuk mengetahui sejauhmana hasil kerja dan pelayanan dapat berjalan sesuai dengan harapan, baik secara kuantitatf maupun kualitatif. Hasil pengukuran suatu kegiatan akan menjadi rekomendari dalam pengambilan keputusan dalam rangka perbaikan dimasa yang akan datang pada setiap tingkatan. Hasil evaluasi kinerja akan menunjukkan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan atau kebijakan yang telah ditetapkan. [Mohamad Mahsun, 2011; Pengukuran Kinerja Sektor Publik] dan [Seti (Roni Dwi Susanto) Pemantauan dan Evaluasi Kinerja]. Sedangkan indikator kinerja memiliki manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan suatu kegiatananatra lain sebagai berikut:
  1. Memperjelas tentang informasi suatu kegiatan/program;
  2. Menciptakan kesepakatan untuk menghindari kesalahan interpretasi dan perbedaan pendapat selama pelaksanaan kegiatan/program;
  3. Membangun dasar bagi pemantauan dan evaluasi; 
  4. Untuk mengenalkan dan memotivasi pelaksana kegiatan/program dalam pencapaian hasil.
  5. Untuk merekomendasikan dan melaporkan hasil yang telah dicapai kepada pemilik, pengelola, dan pengguna.
Indikator Kinerja merupakan alat utama sistem pemantauan dan evaluasi suatu kegiatan yang sedang berjalan, sejauh mana tingkat pencapaian atau prestasi dari sasaran maupun tujuan yang akan dicapai. Setiap indikator kinerja termasuk sub-indikatornya harus didefinisikan secara jelas dan lengkap sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan dan perbaikan selanjutnya. [Mohamad Mahsun, 2011; Pengukuran Kinerja Sektor Publik]. Dimana indikator memiliki karakteristik yang harus diperhatikan ketika akan menentukan indikator maupun sub-indikator yang akan digunakan, antara lain sebagai berikut:
  1. Sahih (Valid), artinya indikator benar-benar dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang akan dinilai;
  2. Dapat dipercaya (Reliable), artinya mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat yang berulang kali, untuk waktu sekarang maupun yang akan datang;
  3. Peka (Sensitive), cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak perlu banyak;
  4. Spesifik (Specific) memberikan gambaran prubahan ukuran yang jelas dan tidak tumpang tindih;
  5. Relevan (Rerevance), artinya sesuai dengan aspek kegiatan yang akan diukur dan kritikal.
Selanjutnya sistem klasifikasi indikator didasarkan atas kerangka kerja yang logis dimana kontinuum masukan (input) yang pada akhirnya mengarah pada keluaran (outcomes) [WHO, 2013]. Klasifikasi tersebut secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Indikator input merujuk pada sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas, seperti: personel, alat/fasilitas, informasi, dana, peraturan/kebijakan;
  2. Indikator proses adalah memonitor tugas atau kegiatan yang dilaksanakan;
  3. Indikator output adalah untuk mengukur hasil meliputi cakupan, termasuk pengetahuan, sikap, dan perubahan perilaku yang dihasilkan oleh tindakan yang dilakukan. Indikator ini juga disebut indicator effect.
  4. Indikator outcome, adalah untuk menilai perubahan atau dampak (impact) suatu program, perkembangan jangka panjang.
Indikator kinerja sangat penting untuk digunakan dalam melakukan evaluasi suatu kegiatan/program, sehingga dapat diketahui bahwa suatu kegiatan/program telah berjalan secara efektif dan efisien. Indikator kinerja untuk setiap unit kegiatan/program tidak sama tergantung pada jenis pelayanan yang dihasilkan. Maka dalam pengembangan dan penentuan indikator kinerja perlu mempertimbangkan beberapa komponen [Mohamad Mahsun, 2011; Pengukuran Kinerja Sektor Publik], sebagai berikut:
  1. Biaya pelayanan (cost of service), Indikator biaya biasanya diukur dalam bentuk biaya unit (unit cost), misalnya biaya per unit pelayanan;
  2. Penggunaan (utilization), Indikator penggunaan pada dasarnya membandingkan antara jumlah pelayanan yang ditawarkan (supply of service) dengan permintaan publik (public demand). Indikator ini harus mempertimbangkan preferensi public;
  3. Kualitas dan Standar (quality and standards), Indikator kualitas dan standar pelayanan merupakan indicator yang paling sulit diukur, karena menyangkut pertimbangan yang sifatnya subyektif;
  4. Cakupan (coverage), Indikator cakupan pelayanan perlu dipertimbangkan apabila terdapat kebijakan atau peraturan perundangan yang mensyaratkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan minimal yang telah ditetapkan;
  5. Kepuasan (satisfaction), Indikator kepuasan biasanya diukur melalui metode jajak pendapat secara langsung. 
Sedangkan syarat-syarat indikator yang ideal yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan jenis kegiatan/program yang telah ditetapkan. Menurut Palmer (1995) yang dikutip dari buku Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Mohamad Mahsun, (2011) menyatakan bahwa syarat-syarat indikator yang ideal, adalah sebagai berikut:
  1. Consitency, indicator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi;
  2. Comparibility, indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak;
  3. Clarity, indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami;
  4. Controllability, pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikannya;
  5. Contingency, perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal. Struktur organisasi, gaya manajemen, ketidakpastian dan kompleksitas lingkungan eksternal harus dipertimbangkan dalam perumusan indikator kinerja;
  6. Comprehensiveness, indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek perilaku yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manajerial;
  7. Boundedness, indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi;
  8. Relevan, berbagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu;
  9. Feasibility, target-target yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator kinerja harus merupakan harapan yang realistik dan dapat dicapai.

Indikator-Indikator Penilaian Kinerja Bangunan

Penilaian kinerja bangunan agar dapat dinyatakan hijau atau ramah lingkungan harus memeuhi indikator-indikator yang dapat mempengaruhi kinerja sebuah bangunan maupun kepentingan atau persepsi dari pemilik bangunan, maupun pengguna bangunan. Berdasarkan hasil survei di beberapa bangunan tersebut yang merujuk kepada Green Building Council Indonesia, diketahui memiliki 6 (enam) variabel dan 62 sub-variabel sebagai indikator-indikator yang mempengaruhi terhadap kinerja sebuah bangunan. Deskripsi variabel penilaian tersebut secara rinci dijelaskan, adalah sebagai berikut:

Tepat guna lahan:
Tepat guna lahan memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari: 
  • Aksesibiltas Pengguna; 
  • Pengurangan Penggunaan Kendaraan Bermotor; 
  • Penggunaan Fasilitas Sepeda; 
  • Tata Guna Lahan berupa vegetasi; 
  • Penggunaan Penutup Atap Ramah Lingkungan; 
  • Pengurangan Volume Limpasan Air Hujan ke Jaringan; 
  • Pengendalian Hama Penyakit dan Gulma Tanaman; 
  • Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Sekitar Gedung; 
  • Pemeliharaan Eksterior Gedung; 
  • Gedung Bersertifikat Greenship. 
Efesiensi dan konservasi energi:
Efesiensi dan konservasi energi memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Penurunan Penggunaan Listrik;
  • Peningkatan Kinerja & Kontrol Sistem MVAC;
  • Usaha Penghematan Penggunaan Listrik;
  • Sistem Pengendalian & Pemantauan Energi;
  • Sistem Operasional & Pemeliharaan Gedung;
  • Penggunaan Energi Terbarukan;
  • Pengurangan Emisi CO₂;
  • Kampanye Penghematan Energi;
  • Penggunaan Energi Minimum;
  • Zona Pencahayaan.
Konservasi air:
Konservasi air memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Alat Ukur Konsumsi Air;
  • Prosedur Operasional dan Pemeliharaan Air;
  • Pengurangan Konsumsi Air;
  • Kualitas Air;
  • Sistem Daur Ulang Air;
  • Sistem Penyarigan Air;
  • Konsumsi Air Sumur Dalam;
  • Penggunaan Keran/Pompa Air Otomatis;
  • Kampanye Konservasi Air;
  • Penggunaan Air Hujan.
Sumber dan siklus material:
Sumber dan siklus material memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Penggunaan Refrigeran Non-CFC;
  • Penggunaan Material Ramah Lingkungan;
  • Sistem Pengelolaan Sampah;
  • Sistem Pengelolaan Limbah Berbahaya;
  • Penyaluran Barang Bekas Daur Ulang;
  • Penggunaan Kayu Bersetifikat;
  • Bahan Pembersih yang Ramah Lingkungan;
  • Penggunaan Asbestos;
  • Penggunaan Logam;
  • Kebijakan Pembelian Material.
Kesehatan dan kenyamanan dalan ruangan:
Kesehatan dan kenyamanan dalan ruangan memiliki 12 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Kualitas Udara Ruangan;
  • Dilarang Merokok di Seluruh Area Gedung;
  • Pemantauan Kadar CO₂;
  • Pengukuran Polutan Kimia;
  • Pembersihan Filter, Coil dan Alat Bantu VAC;
  • Kenyamanan Visual/Tinglat Pencahayaan;
  • Tingkat Bunyi Dalam Ruangan/Kebisingan;
  • Kenyamanan Suhu Udara;
  • Tanaman dalam Ruang;
  • Pengendalian Hama;
  • Kampanye Pembuangan Sampah;
  • Kampanye Bebas Asap Rokok.
Pengelolaan lingkungan dalam bangunan:
Pengelolaan lingkungan dalam bangunan memiliki 10 indikator utama yang dianggap dapat mempengaruhi terhadap kinerja bangunan maupun kepentingan menurut persepsi para pemilik atau pengguna bangunan tersebut, terdiri dari:
  • Aplikasi Inovasi dengan Peningkatan Kualitas Bangunan;
  • Mendorong Perubahan Perilaku Para Pengguna;
  • As Built Drawing dan Dokumen Lainnya;
  • Struktur Organisasi Operation & Maintanance Berkelanjutan;
  • Pelatihan Konsep Hijau & Klausul Bangunan Hijau;
  • Jadwal Berkala Operation & Maintanance;
  • Jadwal Berkala Pelatihan & Evaluasi;
  • Aktifitas Hijau;
  • Rencana Anggaran & Biaya Operasional & Pemeliharaan;
  • Rencana Kegiatan Operasional & Pemeliharaan.

Konservasi Energi

Hingga saat ini, Indonesia masih menghadapi persoalan dalam pncapaian target pembangunan bidang energi. Ketergantungan terhadap energi fosil terutama minyak buni dalam pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih dinilai tinggi, yaitu sebesar 96% terdiri dari 48% minyak bumi, gas 18% dan batubara 30% dari total konsumsi dan upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan belum berjalan sesuai dengan harapan. Penurunan cadangan energi fosil berjalan terus dan tidak diimbangi dengan penemuan cadangan baru, termasuk keterbatasan infrastruktur energi yang tersedia. Memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka Indonesia dalam posisi rentan terhadap gangguan yang terjadi di pasar energi global terutama pada produk minyak bumi yang dipenuhi dari impor. [Dewan Energi Nasional, 2014]

Konservasi energi dalam kata lain memiliki pengertian tentang perlindungan dan pelestarian energi sebagai dasar dalam pengelolaan energi nasional belum sepenuhnya mendapat perhatian serius khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena masih mengutamakan pada penyediaan energi untuk masyarakat melalui eksploitasi bahan bakar fosil dan pembangunan energi listrik. Konservasi energi dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas, seperti biaya konsumsi energi dan lingkungan. Konsevasi energi di Indonesia selama ini tidak berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat bahwa Indonesia merupakan sebuah Negara yang memiliki sumberdaya energi yang sangat melimpah. Peraturan pemerintah maupun undang-undang tentang konservasi energi belum dikembangkan termasuk pembentukan badan khusus atau komisi khusus yang menaganinya belum terbentuk. Kerugian yang harus ditanggung apabila tidak dilakukan konservasi energi secara nyata belum dapat dihitung secera pasti, namun telah dirakan akibatnya. [Hanan Nugroho, 2005; Konservasi Energi Sebagai Keharusan Yang Terlupakan Dalam Manajemen Energi Nasional Indonesia]

Energi merupakan sebuah tenaga atau kemampuan dalam melakukan berbagai proses kegiatan, dimana bentuk energi pada umumnya berupa bahan bakar, listrik, energy menkanis dan panas. Agar penggunaan energi lebih efektif dan efisien, diperlukan sistem pengelolaan energy yang terencana, terarah dan berkesinambungan. Dalam pengelolaan energi tersebut dapat dilakukan konveservasi energi, dimana konservasi  energi merupakan suatu kegiatan dalam rangka pengeloaan energi yang efektif, efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energy yang diperlukan. Selanjutnya selalu megupayakan dan mencari alternative-alternatif teknologi baru dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tidak habis, seperti energy matahari, angin, dan air. [Prof. Dr. Ir. Bambang Suryawan, MT., 2009; Pengantar Konservasi Energi]

Berdasarkan pada Outlook Energi Indonesia tahun 2014 yang disusun oleh Dewan Energi Nasional, bahwa pengelolaan energi di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan terlihat dari tantangan yang harus dihadapi sektor energi, yaitu adanya perubahan paradigma pembangunan energi nasional dengan mengurangi dan menghentikan ekspor energy fosil merupakan keharusan yang tidak dapat dipungkiri; harga yang terjangkau oleh masyarakat dan mengurangi subsidi; pemanfaatan energy baru terbarukan belum optimal; kondisi infrastruktur yang belum optimal. Dimana, 95% kebutuhan energi yang berasal dari energi fosil masih mendominasi dari total kebutuhan energi. [Dewan Energi Nasional, 2014]

Kebijakan Energi Nasional menuju tahun 2050 yang telah disusun oleh Dewan Energi Nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang merupakan penjabaran dar Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, dalam rangka menuju kemandirian dan ketahanan energi nasional yang berdaulat. Kebijakan Energi Nasional disusun berdasarkan asas pemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kepentingan nasional. Kebijakan yang disusun untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi didahului dengan membuat proyeksi kebutuhan energi nasional sampai dengan tahun 2050. Proyeksi tersebut dibuat untuk mengantisipasi kebutuhan energi Indonesia yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang, baik yang berasal dari energi fosil maupun sumber energi terbarukan lainnya. Kebijakan Energi Nasional meliliki tujuan utama dalam pengelolaan energi, adalah sebagai berikut:

  1. Tercapainya kemandirian pengelolaan energi;
  2. Terjaminnya ketersediaan energy dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri;
  3. Tersedianya sumber energy dari dalam negeri dan/atau luar negeri untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, kebutuhan bahan baku kndustri dalam negeri, dan peningkatan devisa Negara;
  4. Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal. Terpadu dan berkesinambungan;
  5. Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor;
  6. Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energy kepada masyarakat tidak mampu, membangun infrastruktur energy untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah;
  7. Tercapainya pengembangan kemampuan industry energy dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;
  8. Terciptanya lapangan kerja dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Berikut ini adalah potensi penghematan energi yang telah diproyeksikan hingga tahun 2050, seperti terlihat pada tabel, dibawah ini:

Sumber:  Outlook Energi Indonesia 2014 – Kementrian ESDM diolah oleh Dewan Energi Nasional, 2013

Tahapan Kebijakan Konservasi Energi menurut Prof. Dr. Ir. Bambang Suryawan MT, dalam presentasinya tentang Pengantar Konservasi Energi menyatakan terdapat empat tahapan utama dalam melakukan Kebijakan Konservasi Energi, yaitu: 1] Tahap Informasi; 2] Tahap Insentif/Disinsentif; 3] Tahap Kebijakan/Regulasi; Tahap Harga Energi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Prof. Dr. Ir. Bambang Suryawan, MT., Pengantar Konservasi Energi, Universitas Indonesia, 2009

Monday, March 20, 2017

Karakteristik & Sertifikasi Bangunan Hijau (Green Building)

Karakteristik bangunan hijau dinilai sangat penting untuk memastikan integrasi sistem mekanik, pengorganisasian sistem operasional dan pemeliharaan, serta perbaikan kinerja di masa yang akan datang [Aristia A. Putri, M. Arif Rohman, dan Christiono Utomo, 2014; Penilaian Kriteria Green Building pada Gedung Teknik Sipil ITS] dan [27) Joe Hackler and John P. Holdren, 2008; Journal of Green Building, Design and Performance of an Award-Winning Green Headquarters, USA]. Karakteristik tersebut terdiri dari: 
  1. Isolasi (Insulation), yaitu untuk mengeliminasi panas langsung dari luar ruangan di beberapa bagian bangunan;
  2. Pintu dan Jendela (Windows and Doors), yaitu untuk mereduksi panas sinar matahari langsung;
  3. Sistem Mekanika (Mechanical Systems), yaitu untuk mengatur sistem HVAC;
  4. Pencahayaan (Lighting), yaitu untuk mengatur sistem pencahayaan secara otomatis atau pemanfaatan cahaya secara alami;
  5. Sistem Energi Matahari (Solar Photovoltaic System), yaitu penggunaan energi terbarukan dengan memanfaatkan energi sinar matahari;
  6. Peralatan Kantor (Office Equipment), yaitu mengoptimalkan penggunaan peralatan kantor agar hemat energi, seperti: komputer, laptop, printer dan sebagainya;
  7. Alternatif Sumber Air (Alternative Water Resource), yaitu pemanfaatan sumber air alternatif, seperti: air hujan, sisa air dari pendingin udara;
  8. Reduksi Penggunaan Air (Water Use Reduction), yaitu pemanfaatan air yang hemat.
Sedangkan bangunan hijau di beberapa negara telah dibentuk lembaga untuk melakukan sertifikasi, seperti di Amerika Serikat, yaitu US Green Bulding Council yang mengeluarkan sertifikasi yang dikenal dengan nama Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). Sedangkan di Indonesia telah dibentuk “Green Building Council Indonesia” (GBCI), dimana lembaga tersebut merupakan lembaga non profit yang bergerak di bidang industri bangunan global yang berkelanjutan. GBCI merupakan anggota darurat dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada dan telah menyelenggarakan sertifikasi bangunan hijau di Indonesia.

GBC Indonesia didirikan pada tahun 2009, merupakan sebuah lembaga mandiri Non Government (NGO) yang bersifat nirlaba (Non Profit) yang memiliki komitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam melaksanakan praktik-praktik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan berkelanjutan. GBC Indonesia merupakan Emerging Member  dari “World Green Building Council” (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada, dan telah memiliki anggota di 102 negara termasuk Indonesia. Salah satu program GBC Indonesia, adalah menyelengarakan kegiatan “Sertifikasi Bangunan Hijau” berdasarkan perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut “Greenship” [Green Building Council Indonesia, 2011]. 

Berikut ini negara-negara yang telah melaksanakan kegiatan Sertifikasi Bangunan Hijau dan sering digunakan sebagai dasar acuan pada penelitian-penelitian nasional maupun internasional, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Bangunan Hijau (Green Building)

Konsep bangunan yang memiliki sifat ramah terhadap lingkungan telah menjadi perhatian khusus di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Konsep tersebut lebih dikenal dengan nama “Green Building”, dimana konsep tersebut dapat diterapkan pada bangunan-bangunan, seperti: perkantoran, apartemen, hotel, mall, statsiun kereta api, bandar udara dan sebagainya. Konsep tersebut memiliki latar belakang bahwa kebutuhan energi setiap hari terus meningkat, seiring dengan bertambahnya populasi dan kemajuan teknologi yang sangat tergantung kepada energi. Saat ini, khususnya di Indonesia, kekurangan atau krisis energi telah mengancam karena terbatasnya ketersediaan energi yang sebagian besar bersumber dari alam [Aristia A. Putri, M. Arif Rohman, dan Christiono Utomo, 2014; Penilaian Kriteria Green Building pada Gedung Teknik Sipil ITS]. 

Jalan keluar untuk menciptakan sebuah bangunan yang futuristik dan berwawasan lingkungan memerlukan penerapan teknologi terkini dalam konstruksi, sehingga akan tercipta sebuah bangunan yang lebih baik yang memiliki peringkat sebagai bangunan hijau atau green building. Pada prinsipnya, sebuah bangunan hijau adalah mempromosikan penggunaan energi terbarukan ang dapat didaur ulang dan daur ulang hasil produksi, dimana sebuah bangunan merupakan konsumen terbesar dari penggunaan air, energi dan bahan. Dalam hal ini, sebuah bengunan hijau harus mampu dalam skala minimal dalam menghemat pengunaan air 36-40%, menghemat penggunaan energi 30-40% dan menghemat penggunaan bahan/material 25-40% dibandingkan dengan penggunaan tersebut pada bangunan konvensional [Jigneshkumr R. Chaudhari, Prof. Keyur D. Tandel, Prof. Vijay K. Pate, 2013;  Energy saving of Green Building Using Solar Photovoltaic Systems].

Definisi dari Bangunan Hijau atau Green Building menurut beberapa ahli masih banyak penafsiran yang berbeda, maka Bangunan Hijau pada intinya adalah “sebuah bangunan yang dapat menghemat sumber daya energi, air dan bahan/material, untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik dan berkelanjutan”. Sebagai gambaran pada tabel dibawah ini yang menyajikan perbandingan antara “Bangunan Hijau (Green Buildings)” dengan “Bangunan Konvensional atau Bangunan Non Hijau (Non Green Buildings)[M. Samer, 2013; Towards the Implementation of the Green Building Concept in Agricultural Buildings], adalah sebagai berikut:


Konsep Bangunan Hijau merupakan sebuah desain bangunan berkelanjutan yang ditelusuri melalui krisis energi, kekurangan energi, masalah lingkungan, pemanasan global, kekurangan air, sampah meluap, penyakit dan sebagainya, diamana hal tersebut akan menjadi warisan abad 21, kecuali gerakan berkelanjutan dilaksanakan dengan baik dan benar. Konsep ini apabila ditinjau dari pandangan yang lebih luas memiliki tujuan utama, yaitu keberlanjutan dan keseimbangan interaksi antara sistem sumberdaya hayati, sistem ekonomi, dan sistem sosial-budaya. Dalam konsep ini terdapat perbedaan antara Bangunan Hijau dengan bangunan yang memiliki kinerja tinggi, yaitu: Bangunan hijau merupakan salah satu desain yang mengangap terhadap dampak lingkungan dan kesehatan manusia, sedangkan bangunan yang memiliki kinerja tinggi merupakan bangunan yang telah mendapatkan sertifikasi dari pihak ketiga, seperti: LEED (Amerika Serikat), BREEAM (Inggris), GREEN MARK (Singapura), GBI (Malaysia), GBCI (Indonesia) dan sebagainya [Zakari Amamata, Bashir Faizah Mohammed, and Badiru Yunus Yusuf, 2014; Are Smart Buildings Same as Green Certified Buildings? A Comparative Analysis].

Pihak ketiga tersebut diatas merupakan lembaga non-profit dan memiliki perbedaan yang signifikan dalam pengembangan alat ukurnya (tool), hal ini disebabkan oleh kondisi iklim, keragaman sosial-budaya dan politik di setiap negara berbeda. Beberapa alat ukur ada yang memiliki pembobotan sementara dan lainnya ada yang tidak memiliki. Sistem pembobotan digunakan untuk mengukur antara Bangunan Hijau dan Bangunan Cerdas, dimana keduanya memiliki disain berkelanjutan. Namun, tidak semua Bangunan Cerdas merupakan Bangunan Hijau, artinya bahwa Bangunan Hijau merupakan bangunan yang telah dinilai oleh sistem pembobotan (rating), sedangkan Bangunan Cerdas merupakan sebuah desain berkelanjutan untuk mengurangi dapak terhadap lingkungan, tetapi jika tidak dinilai, maka tidak dapat dinyatakan sebagai bangunan hijau.

Teknologi dan Sistem Bangunan Cerdas

Teknologi dan sistem bangunan cerdas (smart building) terbagi menjadi beberapa bagian sub-sistem yang dapat di integrasikan menjadi satu kesatuan sistem yang terdiri dari perangkat lunak (program/software) dan perangkat keras (hardware/device), antara lain sebagai berikut:

Sistem Otomasi Bangunan (Building Automation System)
Sistem Otomasi Bangunan (SOB) atau lebih dikenal dengan Building Automation System (BAS), merupakan sebuah sistem pemantauan dan pengendalian yang terintegrasi dari seluruh perangkat mekanikal dan elektronika pada sebuah bangunan gedung. SOB/BAS berkerja melalui proses elektronika melalui perangkat yang disebut prosesor, seperti: Direct Digital Control (DDC), Programmable Logic Controller (PLC), Microcontoller, dan sebagainya. Dimana perangkat-perangkat tersebut akan melakukan proses yang berasal dari sensor sebagai input yang telah disediakan sebagai indikator, sehingga status dari perangkat yang akan dikendalikan dapat diketahui atau disebut aktuator sebagai output. Sedangkan perangkat keras atau perlengkapan yang digunakan dalam SOB/BAS sebagai sarana dalam melakukan proses pengendalian tersebut, seperti: Network Control Units, Operator Workstations, Network Expansion Units, Application Spesific Controller and Sensor System, dan sebagainya.  Pada prinsipnya, bahwa SOB/BAS merupakan seperangkat peralatan elektronik melalui kontrol otomatis yang komprehensif, dan dapat menjalankan suatu fungsi pada fasilitas yang telah ditentukan dari satu atau lebih fungsi sistem pada bangunan utama sesuai dengan kebutuhan pelayanan bagi para pengguna. [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research] dan [Ibnu El Hurry, 2009; Studi Sistem Automatik pada Gedung untuk Sistem HVAC Berbasis DDC].

Sistem HVAC (Heating, Ventilaion and Air Condotioner)
Sistem HVAC merupakan sistem tata udara atau sistem pengkondisian udara yang terdiri dari sistem pemanas, sirkulasi udara dan pindingin udara yang terintegrasi dalam satu sistem. Sistem HVAC memiliki tujuan untuk memberikan sebuah lingkungan yang nyaman bagi penghuni atau pengguna bangunan dengan mengkondisikan variabel udara dalam ruangan, seperti: suhu (temperature), kelembaban (humidity), kecepatan udara (air volocity), kebersihan udara (cleanliness) yang disebarkan keseluruh ruangan. Sedangkan fungsi dari sistem HVAC itu sendiri merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam suatu bangunan. Dimana, pengkondisian udara akan meberikan kenyamanan kepada penghuni atau penguna bangunan dalam melakukan kegiatan dan akan meningkatkan kinerja maupun aktifitas. Sistem HVAC bekerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak atau program, seperti: Duty Cycle Program, Unoccupied Period Program, Chillers Optimum Start-Stop Program, Zero-Energy Band Program, Heating/Cooling Plant Efficiency Program dan sebagainya. Hasil dari sebuah proses melalui proram pada perangkat lunak tersebut akan diterjemahkan melalui perangkat keras atau peralatan, seperti: Air Handling Unit (AHU) Controller, Distributed Controller, Variable Air Volume (VAV)Sistem,Centralized Chiller Plant, dan sebagainya [Hakim, 2010; Evaluasi Sistem Bangunan Pintar Pada Pusat Perbelanjaan Senayan City di Jakarta] dan [Ibnu El Hurry, 2009; Studi Sistem Automatik pada Gedung untuk Sistem HVAC Berbasis DDC].

Sistem Pencahayaan (Lighting System)
Fasilitas pencahayaan dibutuhkan untuk memberikan visibilitas bagi penghuni atau pengguna bangunan, dan sebagai estetika ruangan pada sebuah bangunan. Namun pencahayaan yang tidak dibutuhkan dan tidak terkendali akan mengakibatkan pemborosan energi dan biaya opresional. Perlu diketahui bahwa pencahayaan akan mempengaruhi sistem lain karena akan meningkatkan suhu dalam ruangan, seperti: beban opersional pendingin udara. Kebutuhan pencahyaan dalam ruangan dari suatu bangunan sangat tergantung dari jenis bangunan, luas bangunan, waktu operasional bangunan dan kepedulian dari penghuni atau pengguna bangunan. Strategi pengendalian dan fungsi dari sistem pencahayaan ditentukan oleh beberapa variabel, seperti: penjadwalan, sensor hunian, pencahayaan alami (daylighting), pelapis jendela (window coating) untuk meredam radiasi sinar matahari.  Sistem pencahyaan bekerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak atau sensor, seperti: Lighting Control Program, Lighting Sensor dan lainnya. Sedangkan perangkat keras atau peralatan yang digunakan, seperti: Charge Coupled Devive (CCD), Intelligent Lighting Controller (ILC) dan sebagainya [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research]. 

Sistem Transportasi (Transportation System)
Sistem transportasi pada bagunan dapat diartikan sebagai jalan lalulintas keluar masuk para penghuni atau pengguna bangunan dari luar bangunan maupun dalam bangunan. Sistem transportasi pada bangunan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Sistem Transportasi Horisontal (Horizontal Transportation System) dan Sistem Transportasi Vertikal (Vertical Transportation System). Sistem tranportasi horisontal merupakan moda transportasi atau jalan lalulintas manusia atau barang antar ruangan dalam satu lantai dengan prosentase kemiringan < 10% yang terdiri dari koridor dan konveyor. Sistem transportasi vertikal merupakan moda transportasi yang digunakan untuk mengangkut manusia atau barang antar lantai bangunan pada bangunan bertingkat tinggi dengan perangkat berupa elevator/lift dan travelator/escalator. Khusus untuk sistem tranportasi vertikal membutuhkan energi yang sangat besar dan berkerja melalui sistem mekanik dan elektronika melalui perangkat lunak berupa program yang spesifik untuk memantau dan mengoperasikan elevator/lift. Sebagai perangkat keras sistem transportasi vertikal tersebut digunakan peralatan (device) berupa Lift Sensor and Pasenger Detector, Neural Network-Based Controller dan sebagainya [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research] dan [Mardian Sanjaya, Wahyu Restriono, Arif Lukito & Ayu Dian Mekarsari, 2012; Sistem Transportasi pada Bangunan].

Sistem Pencegah Kebakaran (Fire Protection System)
Sistem Pencegah kebakaran atau sistem perlindungan kebakaran merupakah salah satu sistem yang sangat penting dipasang pada sebuah bangunan. Dengan adanya sistem tersebut, diharapkan dapat melindungi dan menyelamatkan penghuni bangunan. Dalam penerapan sistem pencegahan kebakaran harus mengikuti prosedur dan standar teknis yang telah ditetapkan. Sistem pencegahan dan perlindungan kebakaran pada bangunan berfungsi sebagai penyekat api dan asap, sehingga para penghuni atau pengguna bangunan dapat berlindung dan menyelamatkan diri, serta memudahkan petugas pemadam kebakaran apabila terjadi kebakaran, termasuk perlindungan harta benda yang berada dalam bangunan. Desain sistem pencegahan kebakaran pada tahap pertama adalah desain sebuah sistem penyiram air otomatis terhadap bahaya kebakaran secara keseluruhan. Faktor-faktor kunci yang mempengaruhi bahaya kebakaran secara keseluruhan, adalah jenis konstruksi bangunan (type of building construction), pandangan luar bangunan (external building exposures), penghuni bangunan (building occupancy), tingkat pertumbuhan api (fire growth rate), dan isi bahan bakar dalam bangunan yang mudah terbakar (the combustible fuel loading of the contents). Faktor-faktor yang paling penting dalam menentukan sistem penyiram air dan parameter dalam desain awal, adalah faktor pertumbuhan api dan isi bahan bakar dalam bangunan yang mudah terbakar. Sistem pencegah kebakaran berkerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak berupa program yang spesifik untuk pencegahan dan deteksi kebakaran. Sedangkan perangkat keras yang harus terpasang pada sistem ini adalah Intelligent Fire Controller (IFC), Fully Addressable Automatic Alrm and Detector (Sensor) System [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research]; [Patrick L. Whitworth, CPD, Anthony W. Stutes, PE CPD, & Robert L. Love, PE CPD, 2003; American Society of Plumbing Engineers, Fire Protection System]; dan [Ahmad Amalludin Bin Amran, 2015; Sistem Perlindungan Kebakaran Dalam Bangunan].

Sistem Keamanan (Security System)
Melindungi suatu bangunan termasuk penghuninya dari pihak-pihak lain yang tidak berkopeten memasuki suatu bangunan atau ruangan dalam bangunan tanpa ijin atau tidak diketahui identitasnya/penjahat oleh pihak pemilik, pengelola, maupun penghuni bangunan merupakan hal yang sangat penting. Hal lain yang tidak kalah penting adalah keselamatan barang-barang berharga dari pencurian atau perampokan. Dengan adanya sisten keamanan pada bangunan diharapkan dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sistem keamanan tersebut berkerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak berupa program yang spesifik untuk keamanan dan pencegahan (safety protection), deteksi (detection) dan sistem keselamatan (safety system). Sedangkan perangkat keras yang terpasang dari sistem ini berupa Intelligent Access Controller (IAC), CCTV Surveillance, e-Card Access, Motion Detectors, Intruder Alrm System and Special Presence Detection Sensors [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research].

Sistem Komunikasi (Communication System)
Sarana komunikasi merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan secara berkelanjutan dalam suatu bangunan. Dalam pelaksanaannya, selain sarana komunikasi yang dibutuhkan harus ditunjang dengan sistem komunikasi yang memadai, baik komunikasi dari atau ke luar gedung maupun komunikasi didalam gedung. Sistem komunikasi dalam sebuah bangunan terdiri dari sistem komunikasi satu arah dan sistem komunikasi dua arah yang berkerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak, baik dengan kabel (wired) maupun tanpa kabel (wireless), seperti: Faximile, Telegraph, Telephone, Radio Communication, Video Programme, Audio Programme, Local Area Network (LAN), Medium Area Network (MAN), Wide Area Network (WAN) dan sebagainya. Sedangkan perangkat keras dari sistem komunikasi tersebut, seperti: Traditional Telephon System, Aerial, Transmission Cables, Amplifiers, Mixers, Splitters, Repeat Amplifiers, Attenuator and Final TV outlets, Dish Antennas for Satellite Communication, dan sebagainya [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research].

Sistem Penghematan Energy (Energy Saving Sistem)
Kinerja energi dari sebuah bangunan merupakan sebuah faktor yang sangat penting dalam perencanaan atau desain sebuah bangunan. Pada pelaksanaannya, penggunaan energi pada sebuah bangunan telah didominasi oleh dua faktor utama yang sangat mempengaruhi terhadap penggunaan energi. Faktor pertama yang paling mempengaruhi terhadap penggunaan energi adalah sistem pencahyaan dalam ruangan suatu bangunan, dan faktor yang kedua adalah sitem tata udara dalam ruangan. Kedua faktor tersebut apabila tidak dikontrol akan mengakibatkan pemborosan energi yang signifikan dan menambah beban biaya opersional bangunan. Sistem penghematan energi berkerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak berupa berkerja melalui sistem elektronika melalui perangkat lunak berupa Radio Frequency Identification (RFID) dan sistem lainnya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Sistem penghematan energi tersebut dapat diintegrasikan dengan Sistem Pencahayaan (Lighting System) dan Sistem tata udara dalam ruangan (HVAC System) yang telah terpasang dalam suatu bangunan. Namun perlu diketahui bahwa kedua faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis konstruksi bangunan yang digunakan dan penggunaan peralatan (device) seperti: lampu, sumber cahaya, dan sebagainya [Evi Puspita Dewi, 2011; Optimasi Sistem Pencahayaan Ruang Kuliah Terkait Usaha Konservasi Energi].

Bangunan Cerdas (Smart Building)

Kata “Cerdas” pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada awal tahun 1980-an untuk menggambarkan suatu bangunan cerdas. Seiring dengan perkembangnan teknologi informasi, dan permintaan pelayanan yang semakin tinggi dari para pemilik maupun pengguna bangunan terhadap kenyamanan dan keamanan lingkungan, sehingga tercipta sebuah konsep tentang “Bangunan Cerdas” atau lebih dikenal dengan sebutan Smart Buliding/Intelligent Building. Konsep ini lahir sebagai akibat dari meningkatnya kesejahteraan manusia dan perubahan pola hidup modern yang menuntut tingkat pelayanan dan pengelolaan lingkungan bangunan, dimana sangat mempengaruhi pada kesejahteraan dan pelayanan di tempat kerja, selanjutnya akan mempengaruhi pada produktifitas, moralitas dan kepuasan. Maka, untuk memenuhi tuntutan tersebut perlu ada bangunan cerdas yang dapat menciptakan sebuah upaya multidisiplin ilmu untuk mengintegrasikan dan mengoptimalkan struktur bangunan, sistem layanan, pengelolaan, dan lingkungan yang nyaman, aman serta hemat biaya. [J.K.W. Wong, H. Li, & S.W. Wang, 2005; Intelligent Building Research] 

Bangunan cerdas dapat didefinisikan secara sistematik bahwa suatu bangunan cerdas harus memiliki informasi dan pengendalian layanan untuk memenuhi kebutuhan dan kenyamanan para pengguna. Bangunan cerdas memiliki perangkat lunak yang dirancang secara khusus sebagai pengendali, dan perangkat keras berupa rangkaian elektronika yang terpasang pada struktur bangunan utama, serta dapat memanipulasi telekomunikasi maupun fungsi otomasi untuk memenuhi kebutuhan fasilitas yang diperlukan oleh para pengguna. Studi sistem otomasi gedung cerdas telah menjadi topik umum di seluruh dunia. Selanjutnya, bahwa hal ini akan menjadi tantangan baru bagi para desainer bangunan atau arsitek dalam merancang sebuah bangunan yang certas, efisien dan terpadu dalam struktur bangunan, termasuk sistem mekanikal dan elektrikalnya (ME). Hasil akhir dari sebuah rancang bangun tersebut, para pengguna akan mendapatkan manfaat penghematan energy. Selanjutnya, Sebuah bangunan cerdas yang memiliki sistem pengendalian otomatis, dimana pemilik maupun pengguna bangunan dapat menikmati keuntungan secara finansial dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan maupun pengelolaan. Untuk memenuhi hal-hal tersebut diatas, sebuah bangunan cerdas harus memenuhi tiga persyaratan utama [Ler, Eng Loo, 2006; Intelligent Building Automation System], yaitu: 
  1. Bangunan harus memiliki sistem otomasi terkini untuk memantau berbagai macam fasilitas yang diperlukan, seperti pendingin udara, ventilasi, pencahayaan, keamanan kebakaran dan sebagainya, sehingga tercipta suasana lingkungan yang nyaman dan aman bagi para pengguna;
  2. Bangunan harus memiliki infrastruktur jaringan yang baik antar lantai gedung, sehingga arus data dapat dialirkan dengan lancar;
  3. Bangunan harus menyediakan fasilitas telekomunikasi yang memadai.
Konsep dasar dari suatu Bangunan Cerdas yaitu desain berkelanjutan (Sustainable Design) harus memperhatikan unsur-unsur sosial, teknologi dan lingkungan dengan mengintegrasikan beberapa sub-sistem pada bangunan secara sinergis, seperti: Sistem Otomasi Bangunan, HVAC System, Sistem Pencahayaan, Sistem Transportasi, Sistem Pencegahan Kebakaran, Sistem Keamanan, Sistem Komunikasi dan Sistem Penghematan Energi. Dengan adanya desain berkelanjutan diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam perpindahan tempat bagi para penghuni, pengguna, menyediaan sarana dan prasarana penunjang bangunan berupa perlengkapan maupun peralatan dalam bangunan, serta menyediakan sarana  dan prasarana yang dapat menunjang segala kegiatan pada sistem informasi. 

Konsep bangunan cerdas didasari beberapa hal yang mempengaruhi, seperti: Persaingan ketat dalam dunia usaha sangat mempengaruhi kelengkapan fasilitas bangunan yang dapat mempermudah, melancarkan, dan mempercepat segala kegiatan yang terjadi dalam suatu bangunan; Adanya tuntutan dari para pengguna bangunan terhadap kemudahan dalam pengolahan informasi, pelayanan keamanan dan keselamatan bagi para pengguna; dan Adanya tuntutan dari para pengguna  bangunan terhadap kemudahan dan fasilitas dalam suatu bangunan untuk mempermudah segala kegiatan [Hakim, 2010; Evaluasi Sistem Bangunan Pintar Pada Pusat Perbelanjaan Senayan City di Jakarta]. 

Konsep Bangunan Cerdas yang terintegrasi secara sinergi dan terpadu yang dapat mendukung pada Sistem Bangunan Hijau sebagai salah satu cara dalam penghematan energi, penghematan biaya operasional dan memudahkan dalam pengelolaan bangunan termasuk pemeliharaannya, seperti terlihat pada gambar dibawah ini:


Integrasi Sistem Bangunan Cerdas
(Sumber: Evaluasi Sistem Bangunan Pintar, Hakim, 2010)

Evaluasi Kinerja Bangunan

Gambaran Umum

Menurut Building Services Research and Information Association (BSRIA) yang berkedudukan di Inggris, bahwa Evaluasi Kinerja Bangunan merupakan sebuah metode untuk meningkatkan kinerja bangunan mulai dari tahap awal penggunaan bangunan. Evaluasi kinerja tersebut dapat menangani permasalahan yang terjadi pada bangunan, seperti penggunaan energi, pelayanan keamanan dan kenyamanan pengguna bangunan. 

Evaluasi Kinerja Bangunan dapat didefinisikan sebagai sebuah proses dalam memperoleh pengetahuan tentang kinerja bangunan dan mengunakan umpan balik untuk meningkatkan bangunan baru informasi dalam perencanaan pada proyek-proyek bangunan dimasa yang akan datang. Evaluasi kinerja ini dapat digunakan terutama oleh pemilik dan perencana sehingga dapat merumuskan proses pengarahan yang lebih baik, menemukan pekerjaan dan kebutuhan yang perlu perhatian lebih pada perancangan sebguah bangunan, termasuk fasilitas para pengelola bangunan yang dapat memberikan kenyamanan kepada para pengguna bangunan, efisiensi energi dan produktifitas bangunan. Tujuan utama dari kinerja bangunan dapat digunakan sebagai antisipasi selama proses pengadaan, perencanaan hingga pelaksanaan konstruksi.

Evaluasi Kinerja Bangunan dapat memberikan umpan balik secara teknis dalam penggunaan atau operasional dari sebuah bangunan berupa informasi dan kebutuhan dalam rangka meningkatkan kenierja bangunan. Dengan ukuran kinerja secara kuantitatif, sebuah Evaluasi Kinerja Bangunan dapat menggabungkan ukuran statistik, seperti umpan balik dari pengguna sebagai dasar penilaian dari penguna termasuk tingkat kepuasan pengguna bangunan.

Selama ini dapat dikatakan tidak ada umpan balik yang cukup dari hasil penggunaan bangunan, dimana Evaluasi Kinerja bangunan dapat menjadi bagian intregasi dari sebuah bangunan dan harus menjadi suatu hal yang penting selama penggunaan bangunan oleh para pengguna. Manfaat dari Evaluasi Kinerja Bangunan dapat mencakup pada peningkatan efesiensi energi, tingkat kenyamanan pengguna yang memadai dan penggunaan bangunan serta peningkatan kualitas perencanaan bangunan dimasa yang akan datang.

Sejarah Singkat

Evaluasi Kinerja Bangunan sebagai sebuah definisi proses pengorganisasian pada tahun 1960-an yang dikerjakan oleh militer Amerika Serikat untuk menilai sebuah fasilitas. Pada tahun 1964, rencana kerja dari Royal Institute of British Architecs (RIBA) telah dipublikasi yang memungkinkan dari arsitek secara resmi dapat melaksanakan sebuah review pasca pelaksanaan proyek. Namun, umpan balik ini tidak fokus kepada umpan balik yang disampaikan oleh para pengguna bangunan terutama pada penggunaan energi yang saat itu belum banyak digunakan. Pada tahun 1968, Strathclyde University, Glasgow, Inggris, mendirikan sebuah unit penelitian kinerja bangunan, dan pada tahun 1972 telah menerbitkan buku sebagai terobosan untuk kinerja sebuah bangunan dengan judul “Building Performance”

Pada tahun 1975, istilah Evaluasi Pasca Hunian (Post Occupancy Eavaluation) telag digunakan dalam jurnal American Institute of Architecs (AIA), dalam kaitannya dengan penyelidikan di rumah sakit. Lompatan besar telah dilakukan studi dengan review pasca hunian pada bangunan dan rekayasa (Post-Occupancy Review of Buildings and Engineering or PROBE). Studi ini telah dilakukan antara tahun 1995 hingga 2002 pada duapuluh bangunan, termasuk sembilan bangunan perkantoran, tujuh bangunan pendidikan, dan empat bangunan lainnya. Studi yang dilakukan oleh PROBE menggunakan teknik penelusuran, pengecekan lokasi, ulasan tentan desain dan pemeriksaan dokumentasi, survei penggunaan energi, kuesioner penghuni bangunan, dan umpan balik dari pengelola bangunan serta tim perencana. Hasil studi tersebut disebarluaskan dalam “Building Servises Journal”. Pada tahun 2002, kepercayaan terhadap penggunaan bangunan telah didirikan sebagai sebuah charity di Inggris untuk meningkatkan kinerja bangunan.

Tahapan Pelaksanaan 

Tahapan yang digunakan dalam Evaluasi Kinerja Bangunan terdiri dari beberapa tahapan pendekatan umum dalam pelaksanaannya, adalah sebagai berikut:
  1. Memahami bangunan yang akan dievaluasi: Memahami desain awal bangunan dan spesifikasi teknik kinerja untuk sistem bangunan, termasuk pengarahan dari tim fasilitasi;
  2. Persiapan penelusuran bangunan: Penelusuran merupakan sebuah peluang untuk melihat bangunan yang sedang digunakan oleh penghuni;
  3. Pengembangan strategi Evaluasi Kinerja Bangunan: Menggunakan hasil dari tahap satu dan dua tersebut diatas untuk membantu uraian strategi spesifikasi bangunan, termasuk evaluasi yang dilakukan dan kebutuhan masukan data; 
  4. Pemantauan dan koleksi data: Pada tahap ini termasuk: pembacaan meter untuk penggunaan energi dan air, data kinerja lingkungan (temperatur, kelembaban relatif, tingkat suara, tingkat polusi, kecepatan aliran udara), umpan balik kenyamanan penghuni dari kelompok pengguna bangunan yang berbeda, umpan balik pengelolaan dan desain, pengecekan lokasi dan investigasi;
  5. Menafsirkan dan melaporkan data yang telah dikoleksi: Pada tahapan ini tergantung pada hasil koleksi data secara alami, seperti: data konsumsi energi sebagai bagian dari audit energi dan dapat dibangun hirarki penggunaan energi; 
  6. Mengoptimalkan kinerja bangunan: Keberhasilan dari evaluasi kinerja bangunan harus menghasilkan perubahan untuk memperbaika area bangunan yang memiliki kinerja buruk atau kurang, seperti: mengurangi konsumsi energi melalui pemograman ulang sistem pengendalian. Hal ini boleh termasuk dalam elemen komisi ulang;
  7. Pemantauan ulang (jika telah sesuai): Untuk setiap perubahan pada sistem dari tahap keenam, tingkat kinerja baru harus di verifikasi dengan pemantauan lebih lanjut;
  8. Umpan balik kepada tim desain: Pada tahap akhir ini, menyajikan umpan balik untuk tim desain sehingga pelajaran dari hasil studi dapat dimasukan kedalam pekerjaan  desain yang akan datang. 
Perangkat dan Teknik Pelaksanaan

Perangkat dan teknik pelaksanaan dapat mengikuti beberapa opsi yang diadopsi untuk ketersediaan waktu dan biaya sesuai dengan jenis bangunan, adalah sebagai berikut:
  1. Penelusuran: Penelusuran oleh seorang evaluator dan mengunjungi bangunan yang sementara sedang dihuni untuk mengulas bagaimana sebuah bangunan dapat merespon secara singkat;
  2. Audit Energi: Audit energi dimaksudkan untuk menentukan berapa banyak dan bagaimana energi yang sedang digunakan pada sebuah bangunan. Audit tersebut dilakukan menurut kententuan yang berlaku, dan termasuk didalamnya pembacaan meteran di seluruh bangunan termasuk tingkat sub-meternya.
  3. Detail Profil Energi: Profil energi merupakan hasil sebuah analisis energi secara detail selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih. Tujuannya adalah ditampilkan bagaimana dan kapan energi digunakan oleh sistem bangunan, perangkat dan hasil secara langsung dari aktifitas pengguna bangunan; 
  4. Analisis Forensik: Analisis forensik melibatkan pemeriksaan data atau informasi tentang sebuah sistem yang tidak memiliki kinerja dan identifikasi alasan dari kinerja buruk pada sebuah bangunan;
  5. Tempat Pengukuran: Tempat pengukuran melibatkan pengamatan dari beberapa kualitas fisik bangunan, seperti: suhu, kelembaban, aliran udara, atau penggunaan energi, di lokasi yang cukup representatif; 
  6. Survei Penghuni: Survey penghuni digunakan untuk menemukan bahwa penghuni memikirkan tentang kinerja dari bangunan yang mereka gunakan.
Pada pelaksanaannya di lapangan memerlukan beberapa tenaga ahli yang telah terlatih dan pahan tentang evaluasi kinerja bangunan, energi dan lingkungan. Evaluasi Kinerja Bangunan saat ini belum dilaksanakan secara optimal dan belum seluruh bangunan dapat dilakukan evaluasi secara menyeluruh, baik pada bangunan ringan maupun bangunan beresiko tinggi. Evaluasi Kinerja Bangunan ini sebaiknya berlaku bukan saja untuk bangunan gedung saja, tetapi dapat diterapkan pada bangunan-bangunan lainnya, seperti, jalan, jembatan, irigasi, air bersih, dan sebagainya. 

Gambaran Umum Tentang Energi & Lingkungan

Perkembangan pembangunan sarana dan prasarana di dunia setiap tahun semakin meningkat, begitu pula dengan perkembangan dan penerapan teknologi struktur bangunan semakin meningkat pula hampir di semua jenis bangunan, seperti: konstruksi, teknologi bahan bangunan, pengelolaan bangunan, termasuk sistem bangunan. Seiring dengan perkembangan pembangunan di berbagai negara di segala bidang, telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan hidup. Pembangunan yang sedang dilaksanakan saat ini sangat tergantung pada penggunaan energi yang berasal dari sumber daya alam non hayati ecara berlebihan namun ketersediannya terbatas, seperti air, tanah dan hasil tambang. Kejadian ini membutuhkan sarana dan prasarana yang mampu mengatasi masalah tersebut melalui sebuah sistem yang dapat membantu dalam mengatasi masalah lingkungan agar tidak cepat rusak atau habis.

Kemampuan dan daya dukung lingkungan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup secara menyeluruh, karena sumberdaya alam yang tersedia tersebar tidak merata dan berbeda dalam mendukung perikehidupan semua makhluk hidup dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, serta tersedianya ruang hidup dalam tingkatan tertentu. Selanjutnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara berkesinambungan, efektif dan efisien, serta dijaga kelestariannya, baik dalam pengembangan maupun pemeliharaannya. Selain hal tersebut diatas, pemanfatan sumber daya alam harus dilakukan secara rasional dan proporsional, serta dapat diperbaharui dengan mengembangkan metode teknik penambangan dan pengelolaannya, sehingga kelestarian alam dapat terjaga dengan baik, terbuka, berkesinambungan dan berkelanjutan, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Ketergantungan terhadap energi saat ini telah mengubah perilaku sosial masyarakat khususnya, dan sangat berdampak pada kelestarian sumber daya alam termasuk makhluk-makhluk lainnya yang ada di muka bumi. Di beberapa negara, tingkat pertumbuhan ekonomi setiap tahun semakin meningkat yang sangat berkaitan erat dan ditunjang oleh sumber daya alam yang melimpah. Maka, semakin tinggi tingkat perekonomian suatu negara, semakin tinggi pula kebutuhan energi dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara besar-besaran, dan tidak terkendali. Dan pada kenyataannya, khususnya negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah belum memiliki teknologi yang memadai dalam mengelolanya, dan tidak terkecuali pada tingkat perekonomian yang cenderung tidak stabil dibanding dengan negara-negara yang bergerak di sektor industry dan jasa. Negara-negara yang memiliki sumber daya alam hayati maupun non hayati yang melimpah termasuk sumber daya manusia dengan sosial budaya yang sangat beragam dan sangat berpotensi, seharusnya secara serius sudah dapat memikirkan dan mengatasi masalah lingkungan hidup dengan menerapkan teknologi terbarukan yang terkendali dan terarah agar masalah lingkungan hidup dapat terpecahkan serta terpelihara dengan baik dan lestari.

Sebagai akibat dari penggunaan energi yang tidak terkendali dan telah menjadi isu dunia saat ini, karena penggunaan energi akan menimbulkan kekurangan energi, kerusakan lingkungan dan pemanasan global, sehingga konservasi (perlindungan dan pelestarian) energi maupun lingkungan harus segera dilakukan agar tidak terjadi kerusakan secara berkelanjutan, seperti terlihat pada Gambar dibawah ini:

Isu Dunia: Kekurangan Energy, Pemanasan Global, Lingkungan dan Konservasi
(Sumber:  Makarechi, Automation Performance Index, 2007)

Kekurangan energi dan kerusakan lingkungan termasuk terjadinya pemanasan global, merupakan akibat dari aktifitas sosial ekonomi yang sangat membutuhkan energi dan saling ketergantungan antara sosial, ekonomi, energi dan lingkungan, seperti terlihat pada Gambar dibawah ini:

Hubungan antara sosial, ekonomi, energi dan lingkungan

Dari gambar tersebut diatas, sangat jelas hubungan dan dampak dari aktifitas sosial dan  ekonomi yang sangat tergantung pada energi dan kerusakan lingkungan. Bahwa aktifitas atau kegiatan sosial telah menyumbang tenaga kerja untuk kegiatan ekonomi maupun energi dan memberikan emisi terhadap lingkungan sekitarnya yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Di lain pihak, hasil dari kegiatan ekonomi telah memberikan komoditas non energi terhadap kegiatan sosial sebagai penunjang dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari daripada kegiatan sosial. Namun, untuk menunjang kegiatan ekonomi sangat membutuhkan energi dan untuk mendapatkan energi membutuhkan biaya yang sangat besar. Kegiatan ekonomi juga akan mempengaruhi lingkungan dengan memberikan emisi yang cukup besar, sehingga akan terjadi eksternalitas atau biaya tambahan sebagai akibat dari kerusakan lingkungan. Kegiatan sosial dan ekonomi yang membutuhkan energi dan berdampak terhadap lingkungan, baik dampak positif maupun negatif yang memiliki hubugan timbal balik harus disikapi secara rasional agar terjadi keseimbangan yang berkesinambungan.
       
Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut diatas, bahwa perkembangan infrstruktur di di dunia saat ini mengalami kemjuan yang sangat pesat, sehubungan dengan meningkatnya investasi di bidang property dan sektor usaha, khususnya di kota-kota besar, seperti pembangunan apartemen, perkantoran, perumahan dan lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi di wilayah perdesaan, dimana penggunaan energi yang bersumber dari alam atau fosil, seperti bahan bakar minyak, batubara dan lainnya. Maka, sudah saatnya dapat dikembangkan sebuah indeks kinerja bangunan sebagai alat untuk melakukan evaluasi dan mengukur sejauh mana kinerja bangunan yang telah ada (Existing) dapat dinyatakan sebagai bangunan hijau atau ramah lingkungan (Green Building), dan merencanakan sistem pada bangunan tersebut maupun bangunan baru yang bersifat hemat energi dengan menerapkan sebuah konsep bangunan pintar (Smart Building) yang dapat digunakan oleh segenap lapisan masyarakat.